A.
Manusia dan Kebudayaan
Dalam proses menuju kesempurnaannya, makhluk
manusia memerlukan berbagai upaya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Upaya
yang dilakukan manusia itu merupakan suatu pemanfaatan sejumlah kemampuan yang
dimilikinya yang di antaranya adalah kemampuan otak yang dapat mengembangkan proses berpikir atau berakal
budi. Kemampuan berakal budi pada manusia
tidak dimiliki jenis makhluk lainnya, sehingga manusia disebut juga sebagai
makhluk berakal budi atau makhluk berpikir. Dengan kemampuan berpikir, manusia
dapat mengembangkan sistem-sistem yang dapat membantu mempertahankan
kehidupannya. Sistem-sistem tersebut adalah sistem bahasa, sistem pengetahuan,
sistem organisasi sosial, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem
religi, dan kesenian. Keseluruhan sistem tersebut dinamakan kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1990:98).
Dengan sistem ini manusia mengembangkan
pemikiran simbolis dan perilaku simbolis sebagai ciri khas manusiawi yang berbeda
dengan binatang. Hal ini terbukti karena manusia membuat dan menggunakan simbol
dalam kehidupannya. Kehidupan budaya manusia dengan kekayaan dan ragamnya
adalah bentuk-bentuk simbolis. Perkembangan kebudayaan manusia di dunia ini
berkaitan erat dengan kemajuan sistem simbolis manusia.
Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan
tidak bisa lepas dengan kehidupan manusia yang lain. Hal ini berarti bahwa
manusia dalam mempertahankan hidupnya memerlukan interaksi dengan sesama dan
lingkungannya. Interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan berkembang menjadi
salah satu kebutuhan (sosial), karena setiap manusia senantiasa memerlukan
keberadaan manusia yang lain. Dengan demikian, manusia selain sebagai makhluk
budaya juga makhluk sosial.
Salah satu unsur (subsistem) kebudayaan yang
hidup di masyarakat adalah kesenian. Jika kebudayaan dipandang sebagai sistem
pengetahuan atau sistem gagasan, maka konsekuensi logisnya kesenian merupakan
sistem pengetahuan, nilai-nilai dan gagasan yang merujuk pada nilai keindahan.
Kesenian yang berkembang dalam suatu kebudayaan masyarakat memiliki nilai-nilai
yang bersifat universal. Yang artinya, bahwa kesenian dapat dipolakan secara
sama. Kesenian merupakan perwujudan dari ekspresi perasaan manusia. Manusia
sebagai pencipta seni mengungkapkan perasaannya melalui beragam medium seni,
dan karya seni merupakan suatu bentuk perwujudannya. Dalam konteks kesenian,
ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan yaitu pencipta seni (seniman),
penikmat seni (masyarakat), dan karya seni (artifak).
B.
Pengertian Seni
Seni mempunyai usia yang lebih kurang sama
dengan keberadaan manusia di muka bumi ini. Dalam usia yang sangat tua, seni
telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan budaya manusia di berbagai belahan
bumi, dengan beraneka macam bentuk dan jenis.
Bentuk yang menyenangkan. berarti memuaskan kesadaran keindahan kita.
Rasa indah itu tercapai bila kita bisa menemukan kesatuan atau harmoni dari
hubungan bentuk-bentuk yang kita amati. Definisi ini menyatakan pandangan dari
segi kebentukan fisik (obyektivitas). Definisi seni yang sederhana dan sering
dilontarkan oleh publik secara umum ialah segala macam keindahan yang
diciptakan manusia. Orang memandang bahwa seni merupakan karya keindahan yang
menimbulkan kenikmatan. Kenikmatan meliputi aspek kepuasan jasmani-rohani, yang
muncul setelah terjadi respon kepuasan dalam jiwa manusia, baik sebagai
pencipta (kreator) ataupun penikmat (apresiator).
Karya seni juga memiliki nilai sosial.
Kehadiran seni didukung oleh adanya komunikasi antara masyarakat dengan
pencipta (seniman). Ekspresi seni yang terwujud menjadi karya seni yang
merupakan sarana komunikasi dan dalam upaya berinteraksi sosial. Proses berkesenian
merupakan satu kesatuan antar unsur pencipta dan penikmat, hingga terjadi
intteraksi apresiatif.
Dan pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Seni ialah ekspresi perasaan manusia yang
dikongkritkan, untuk mengkomunikasikan pengalaman batinnya kepada orang lain
(masyarakat penikmat) sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula
kepada penikmat yang menghayatinya. Seni lahir karena upaya manusia dalam
memahami kehidupan ini, baik kehidupan sosial, ekonomi, alam, dan sebagainya.
Ekspresi tersebut dikongkritkan melalui media gerak (tari), suara (musik),
rupa, dan penggabungan/peleburan berbagai media akan melahirkan kesatuan
estetik. Media berekspresi seni rupa meliputi bentuk, warna, bidang, garis,
barik/tekstur, dan unsur-unsur estetik.
C.
Apakah Keindahan itu?
Ide terpenting dalam sejarah estetika filsafati
sejak zaman Yunani Kuno sampai abad 18 ialah masalah yang berkaitan dengan
keindahan (beauty). Persoalan yang digumuli oleh para filsuf ialah “Apakah keidahan itu?” Menurut asal katanya, “keindahan”
dalam perkataan bahasa Inggris: beautiful (dalam bahasa Perancis beau,
sedang Italia dan Spanyol bello yang berasal dari kata Latin bellum.
Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai
bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan sehingga
ditulis bellum.
Menurut cakupannya orang harus membedakan
antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai sebuah benda
tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sering
dipergunakan istilah beauty (kendahan) dan the beautifull (benda
atau hal yang indah).
Dalam pembahasan filsafat, kedua pengertian itu
kadang – kadang dicampuradukkan saja. Selain itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya
pengertian yaitu: a).Keindahan dalam arti yang luas. b).Keindahan dalam arti estetis murni. c).Keindahan dalam arti
terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Pembagian dan pembedaan terhadap keindahan
tersebut di atas, masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Ini
memang merupakan suatu persoalan fisafati yang jawabannya beranekaragam. Salah
satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang pada semua benda yang dianggap indah
dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian
keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita pokok tertentu
yang terdapat pada sesuatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah kesatuan
(unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan
(balance) dan perlawanan (contrast).
Kini para ahli estetik umumnya berpendapat
bahwa membuat batasan dari istilah seperti ‗keindahan‘ atau ‗indah‘ itu
merupakan problem semantik modern yang tiada satu jawaban yang benar. Dalam
estetik modern orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman
estetis, karena ini bukan pengertian abstrak melainkan gejala sesuatu yang
konkrit yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian
yang sistematis.
D.
Nilai Estetis
Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi
mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda
untuk menyebut pelbagai hal, bersifat longgar
untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian
pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan.
Untuk
membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai
ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala
sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam
hal ini keindahan “dianggap” searti dengan nilai estetis pada
umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada
sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif
saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran
nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni,
bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini,
keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya,
melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal
ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan
konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan
mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti misalnya beautiful
(indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik)
dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian
jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang
derjatnya tinggi. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang
lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah
satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya
terdiri dari keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan
sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal
yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan
tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda
disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan
sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini,
keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian
seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan
orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat
terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini
keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif
menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari
sesuatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis. Estetika
kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan
―teori keindahan‖ (theory
of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali,
maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya. Teori obyektif
berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika
adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan,
terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan
atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama
sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori
ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah
atau dianggap bernilai estetis.
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi
seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata ―seni dan
―keindahan, kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita selalu
menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indahn itu bukan
seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya
kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art mengatakan:
bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas,
keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan
atas spiritual batin kita. Harus
kita sadari bahwa seni bukanlah
sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya
ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman
dalam bentuk yang kongkrit. Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa
keindahan, hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat
basis aktivitas artistik (estetik elementer).
Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang
berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman
tergantung dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses
pemahaman. Oleh Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman
seseorang tergantung dari proses hibitution (ikatan yang selalu kontak).
Sehingga pemahaman tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya
hasil ungkapan keindahan.
E.
Dorongan Berkarya Seni
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada
dasarnya meliputi:
1. Dorongan magis dan religius
(keagamaan).
2. Dorongan untuk bermain.
3. Dorongan untuk
memenuhi kebutuhan praktis (sehari-hari).
Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik
tolak kelahiran karya seni, dan akan menjadi dasar dalam penciptaan dan
pengembangan karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya seni didasari
berbagai dorongan berdasarkan misi dan visinya.
F. Seni dan Ekspresi
Seni
memang selalu dihubungkan dengan ekspresi pribadi, sebab seni lahir dari
ungkapan perasaan pribadi penciptanya. Sehubungan dengan nilai ekspresi dalam
seni, Herbert Read merumuskan tentang kedudukan ekspresi dalam proses
penciptaan seni, sebagai berikut:
- pertama, pengamatan terhadap kualitas
materiil,
- kedua, penyusunan hasil pengamatan
tersebut,
- ketiga, pemanfaatan susunan itu untuk
mengekspresikan emosi atau perasaan yang dirasakan sebelumnya.
Bahwa seni adalah susunan
yang estetis yang digunakan untuk mengekspresikan sesuatu perasaan atau emosi
tertentu. Berdasarkan analisis Sanento Yuliman, karya seni yang berkembang
hingga saat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori pendekatan, yaitu:
a)
Ada karya
seni yang secara tegas didasari ekspresi, dengan pendekatan emosional (intuitif),
misalnya karya-karya Affandi, Courbet, van Gogh, Pollock, dan lain-lain.
b)
Ada pula
karya seni yang lebih banyak pertimbangan rasional (kalkulasi) atas komposisi
garis, warna, bentuk, bidang, warna, dan unsur visual lainnya; karya yang
dibuat dengan pendekatan rasional (intelektual) ini misalnya karya Op
Art, Kinetic Art, Kubisme, Konstruktivisme, Purisme, dan lain-lain.
Dari segi kebentukan (visual form), kita
menyebutnya gaya informal (yang pertama), dan gaya formal atau rasional yang
nonlirisisme (yang kedua).
G.
Seni dan Keindahan
Pada
dasarnya seni itu lahir dari curahan emosi seseorang yang berupaya
berkomunikasi dengan publlik seni, jadi apapun hasilnya, yang penting di dalamnya terdapat proses berekspresi
seni dan komunikasi emosi dengan menggunakan media seni.
Jika
kita mempersoalkan keindahan, ada dua kategori yang saling bertentangan. Yang
satu bersifat subyektif, yang memandang bahwa indah itu terletak pada diri yang
melihat (beauty is in the eye of the beholder). Sedangkan yang satu lagi
bersifat obyektif, yang menempatkan keindahan pada barang (benda/karya) seni
yang kita lihat.
Socrates
mengatakan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi
keinginan terakhir. Pendapat ini termasuk kategori subyektif. Yang indah adalah
yang mendatangkan rasa senang tanpa pamrih, dan tanpa adanya konsep-konsep tertentu.
Hal ini akan tergantung pada diri penikmatnya dengan berbagai keunikan
pengalaman batinnya yang berbeda dengan penikmat yang lain.
Berbeda
dengan keindahan obyektif, sebab struktur visual karya seni (benda tertentu)
secara fisik memperlihatkan ciri keindahan itu. Misalnya jika kita mengamati
bunga, timbul pertanyaan, mengapa bunga itu indah, maka jawabannya adalah bahwa
bunga itu mempunyai warna, bentuk, keharuman dan kehalusan yang memukau.
Keindahan obyektif mudah untuk dianalisis atau dideskripsikan.
Keindahan
sebuah lukisan harus ditangkap dengan mata, bukan dengan moral. Dalam kenyataan
pengamatan bentuk karya, tidak bisa lepas memisah-misahkan antara rasio, moral
dan rasa (indera). Sehingga kita bisa merangkum kedua teori itu dalam proses penikmatan
terhadap seni.
H.
Seni dan Alam
Alam, baik berupa flora, fauna, maupun manusia
telah mengilhami seniman dalam mengekspresikan emosinya secara simbolistis
(bersifat perlambangan) sejak zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan
perkembangan selanjutnya, sampai berkenalan dengan seni rupa Barat (gaya
naturalisme). Perkenalan dengan gaya seni rupa Barat sebenarnya ‗menurunkan‘
derajat seni rupa Indonesia. Mengapa tidak, sebab seni rupa naturalisme Barat
yang intelektualistis itu hanya menyajikan keindahan alam secara kasat mata
(visual realistis). Keagungan dan keluhuran nilai-nilai budaya bangsa tidak
tercermin dari kekaryaan tersebut, dan mungkin lebih tepat jika dinamakan
‗sebagai potret alam‘ saja.
Dalam menanggapi alam, para seniman memilih
sikap yang berbeda. Ada yang meniru alam secara akurat (kasat mata) atau secara
fotografis (bergaya naturalisme). Namun ada pula yang mengolah alam dengan
berbagai pendekatan dan teknik (misalnya deformasi, stilasi, abstraksi, dsb)
dan dengan pandangan subyektifnya terhadap alam. Hal ini yang mendasari
munculnya otonomi (kebebasan pribadi) dalam berkarya seni. Selain itu para
seniman juga berupaya mengemukakan keadaan alam ini apa adanya secara realistis
(apa adanya sesuai kenyataan hidup). Alam oleh seniman dipandang sebagai tema (subject
– matter), kadang-kadang ada yang memandang sebagai motif atau juga
dijadikannya sebagai bahan studi. Bagaimanapun sikap seniman terhadap alam,
ternyata kekaryaannya banyak sekali yang mengikat hubungan dengan alam. Sehingga
tidak mengherankan jika orang dulu pernah mangatakan bahwa alam adalah guru
para seniman atau nature artis magistra.
I.
Seni dan Teknologi
Salah satu fungsi seni, selain untuk
kepentingan individual dan sosial, adalah untuk mendukung kebutuhan fisik, yang
berkaitan dengan perlengkapan kebutuhan sehari-hari seperti: alat rumah tangga,
perumahan, teknologi/industri. Keterkaitan seni rupa dengan teknologi tak lepas
dari sifat kodrati manusia yang selalu ingin memperoleh kenyamanan, kepuasan
dan keindahan. Pakaian yang dipakai tidak
cukup hanya sekedar untuk melindungi tubuh, tetapi ingin tampak indah, serasi,
mode yang tidak ketinggalan zaman.
Dengan semakin banyaknya temuan-temuan
teknologi, yang menghasilkan begitu banyak barang-barang, maka peranan seni rupa/desain
semakin terasa untuk memberi sentuhan estetik terhadap barang-barang tersebut.
Sentuhan estetik, khususnya dalam rancang bangun suatu produk menghasilkan
nilai tambah yang bersifat psikologis maupun finansial/ekonomik.
Sebaliknya, kemajuan teknologi dapat pula
dimanfaatkan bagi pembuatan karya seni/desain, misalnya desain atau ilustrasi
dengan bantuan program-program komputer. Persoalannya, desainer, arsitek atau
ilustrator tidak memiliki kebebasan seperti pelukis dalam membuat karyanya,
karena suatu benda atau bangunan memiliki bahan/material khusus dan kegunaan
tertentu sebagai benda pakai. Arsitek tak bisa seenaknya merancang bentuk
gedung pertemuan tanpa memperhitungkan keamanan dan daya tampung pengunjung.
Jadi, masalahnya adalah, bagaimana memadukan bentuk dengan bahan dan fungsi.
Dalam hal inilah teknologi dan seni rupa
berkaitan sangat erat. Oleh sebab itu, pendidikan seni sejak dini perlu memberi
kesadaran kepada siswa –yang di antaranya kelak mungkin ada yang jadi pemimpin,
pengusaha, industriawan—bahwa teknologi dan seni memiliki keterkaitan yang erat
dan saling menunjang. Seni bukan sekedar sarana ekspresi individual, tetapi
juga sarana penunjang kehidupan yang lebih luas, khususnya teknologi, namun
orang kebanyakan tidak menyadarinya.