SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Sunday 29 July 2012

Wawasan Tentang Seni

A.  Manusia dan Kebudayaan
Dalam proses menuju kesempurnaannya, makhluk manusia memerlukan berbagai upaya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Upaya yang dilakukan manusia itu merupakan suatu pemanfaatan sejumlah kemampuan yang dimilikinya yang di antaranya adalah kemampuan otak yang dapat mengembangkan proses berpikir atau berakal budi. Kemampuan berakal budi pada manusia tidak dimiliki jenis makhluk lainnya, sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk berakal budi atau makhluk berpikir. Dengan kemampuan berpikir, manusia dapat mengembangkan sistem-sistem yang dapat membantu mempertahankan kehidupannya. Sistem-sistem tersebut adalah sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Keseluruhan sistem tersebut dinamakan kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990:98).
Dengan sistem ini manusia mengembangkan pemikiran simbolis dan perilaku simbolis sebagai ciri khas manusiawi yang berbeda dengan binatang. Hal ini terbukti karena manusia membuat dan menggunakan simbol dalam kehidupannya. Kehidupan budaya manusia dengan kekayaan dan ragamnya adalah bentuk-bentuk simbolis. Perkembangan kebudayaan manusia di dunia ini berkaitan erat dengan kemajuan sistem simbolis manusia.
Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan tidak bisa lepas dengan kehidupan manusia yang lain. Hal ini berarti bahwa manusia dalam mempertahankan hidupnya memerlukan interaksi dengan sesama dan lingkungannya. Interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan berkembang menjadi salah satu kebutuhan (sosial), karena setiap manusia senantiasa memerlukan keberadaan manusia yang lain. Dengan demikian, manusia selain sebagai makhluk budaya juga makhluk sosial.
Salah satu unsur (subsistem) kebudayaan yang hidup di masyarakat adalah kesenian. Jika kebudayaan dipandang sebagai sistem pengetahuan atau sistem gagasan, maka konsekuensi logisnya kesenian merupakan sistem pengetahuan, nilai-nilai dan gagasan yang merujuk pada nilai keindahan. Kesenian yang berkembang dalam suatu kebudayaan masyarakat memiliki nilai-nilai yang bersifat universal. Yang artinya, bahwa kesenian dapat dipolakan secara sama. Kesenian merupakan perwujudan dari ekspresi perasaan manusia. Manusia sebagai pencipta seni mengungkapkan perasaannya melalui beragam medium seni, dan karya seni merupakan suatu bentuk perwujudannya. Dalam konteks kesenian, ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan yaitu pencipta seni (seniman), penikmat seni (masyarakat), dan karya seni (artifak).
B.  Pengertian Seni
Seni mempunyai usia yang lebih kurang sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini. Dalam usia yang sangat tua, seni telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan budaya manusia di berbagai belahan bumi, dengan beraneka macam bentuk dan jenis.
Bentuk yang menyenangkan. berarti memuaskan kesadaran keindahan kita. Rasa indah itu tercapai bila kita bisa menemukan kesatuan atau harmoni dari hubungan bentuk-bentuk yang kita amati. Definisi ini menyatakan pandangan dari segi kebentukan fisik (obyektivitas). Definisi seni yang sederhana dan sering dilontarkan oleh publik secara umum ialah segala macam keindahan yang diciptakan manusia. Orang memandang bahwa seni merupakan karya keindahan yang menimbulkan kenikmatan. Kenikmatan meliputi aspek kepuasan jasmani-rohani, yang muncul setelah terjadi respon kepuasan dalam jiwa manusia, baik sebagai pencipta (kreator) ataupun penikmat (apresiator).
Karya seni juga memiliki nilai sosial. Kehadiran seni didukung oleh adanya komunikasi antara masyarakat dengan pencipta (seniman). Ekspresi seni yang terwujud menjadi karya seni yang merupakan sarana komunikasi dan dalam upaya berinteraksi sosial. Proses berkesenian merupakan satu kesatuan antar unsur pencipta dan penikmat, hingga terjadi intteraksi apresiatif.
Dan pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Seni ialah ekspresi perasaan manusia yang dikongkritkan, untuk mengkomunikasikan pengalaman batinnya kepada orang lain (masyarakat penikmat) sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula kepada penikmat yang menghayatinya. Seni lahir karena upaya manusia dalam memahami kehidupan ini, baik kehidupan sosial, ekonomi, alam, dan sebagainya. Ekspresi tersebut dikongkritkan melalui media gerak (tari), suara (musik), rupa, dan penggabungan/peleburan berbagai media akan melahirkan kesatuan estetik. Media berekspresi seni rupa meliputi bentuk, warna, bidang, garis, barik/tekstur, dan unsur-unsur estetik.
C.  Apakah Keindahan itu?
Ide terpenting dalam sejarah estetika filsafati sejak zaman Yunani Kuno sampai abad 18 ialah masalah yang berkaitan dengan keindahan (beauty). Persoalan yang digumuli oleh para filsuf ialah Apakah keidahan itu?Menurut asal katanya, “keindahan” dalam perkataan bahasa Inggris: beautiful (dalam bahasa Perancis beau, sedang Italia dan Spanyol bello yang berasal dari kata Latin bellum. Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis bellum.
Menurut cakupannya orang harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sering dipergunakan istilah beauty (kendahan) dan the beautifull (benda atau hal yang indah).
Dalam pembahasan filsafat, kedua pengertian itu kadang kadang dicampuradukkan saja. Selain itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian yaitu: a).Keindahan dalam arti yang luas. b).Keindahan dalam arti estetis murni. c).Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut di atas, masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Ini memang merupakan suatu persoalan fisafati yang jawabannya beranekaragam. Salah satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast).
Kini para ahli estetik umumnya berpendapat bahwa membuat batasan dari istilah seperti ‗keindahan‘ atau ‗indah‘ itu merupakan problem semantik modern yang tiada satu jawaban yang benar. Dalam estetik modern orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetis, karena ini bukan pengertian abstrak melainkan gejala sesuatu yang konkrit yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis.
D.  Nilai Estetis
Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan.
 Untuk membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan dianggapsearti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik) dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis. Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan ―teori keindahan (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya. Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata ―seni dan ―keindahan, kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indahn itu bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art mengatakan: bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Harus kita sadari bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang kongkrit. Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas artistik (estetik elementer).
Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman seseorang tergantung dari proses hibitution (ikatan yang selalu kontak). Sehingga pemahaman tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan keindahan.
E.  Dorongan Berkarya Seni
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya meliputi:
1. Dorongan magis dan religius (keagamaan).
2. Dorongan untuk bermain.
3. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis (sehari-hari).
Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik tolak kelahiran karya seni, dan akan menjadi dasar dalam penciptaan dan pengembangan karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya seni didasari berbagai dorongan berdasarkan misi dan visinya.
F.   Seni dan Ekspresi
Seni memang selalu dihubungkan dengan ekspresi pribadi, sebab seni lahir dari ungkapan perasaan pribadi penciptanya. Sehubungan dengan nilai ekspresi dalam seni, Herbert Read merumuskan tentang kedudukan ekspresi dalam proses penciptaan seni, sebagai berikut:
- pertama, pengamatan terhadap kualitas materiil,
- kedua, penyusunan hasil pengamatan tersebut,
- ketiga, pemanfaatan susunan itu untuk mengekspresikan emosi atau perasaan yang dirasakan sebelumnya.
Bahwa seni adalah susunan yang estetis yang digunakan untuk mengekspresikan sesuatu perasaan atau emosi tertentu. Berdasarkan analisis Sanento Yuliman, karya seni yang berkembang hingga saat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori pendekatan, yaitu:
a)    Ada karya seni yang secara tegas didasari ekspresi, dengan pendekatan emosional (intuitif), misalnya karya-karya Affandi, Courbet, van Gogh, Pollock, dan lain-lain.
b)   Ada pula karya seni yang lebih banyak pertimbangan rasional (kalkulasi) atas komposisi garis, warna, bentuk, bidang, warna, dan unsur visual lainnya; karya yang dibuat dengan pendekatan rasional (intelektual) ini misalnya karya Op Art, Kinetic Art, Kubisme, Konstruktivisme, Purisme, dan lain-lain.
Dari segi kebentukan (visual form), kita menyebutnya gaya informal (yang pertama), dan gaya formal atau rasional yang nonlirisisme (yang kedua).
G.  Seni dan Keindahan
Pada dasarnya seni itu lahir dari curahan emosi seseorang yang berupaya berkomunikasi dengan publlik seni, jadi apapun hasilnya, yang penting di dalamnya terdapat proses berekspresi seni dan komunikasi emosi dengan menggunakan media seni.
Jika kita mempersoalkan keindahan, ada dua kategori yang saling bertentangan. Yang satu bersifat subyektif, yang memandang bahwa indah itu terletak pada diri yang melihat (beauty is in the eye of the beholder). Sedangkan yang satu lagi bersifat obyektif, yang menempatkan keindahan pada barang (benda/karya) seni yang kita lihat.
Socrates mengatakan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir. Pendapat ini termasuk kategori subyektif. Yang indah adalah yang mendatangkan rasa senang tanpa pamrih, dan tanpa adanya konsep-konsep tertentu. Hal ini akan tergantung pada diri penikmatnya dengan berbagai keunikan pengalaman batinnya yang berbeda dengan penikmat yang lain.
Berbeda dengan keindahan obyektif, sebab struktur visual karya seni (benda tertentu) secara fisik memperlihatkan ciri keindahan itu. Misalnya jika kita mengamati bunga, timbul pertanyaan, mengapa bunga itu indah, maka jawabannya adalah bahwa bunga itu mempunyai warna, bentuk, keharuman dan kehalusan yang memukau. Keindahan obyektif mudah untuk dianalisis atau dideskripsikan.
Keindahan sebuah lukisan harus ditangkap dengan mata, bukan dengan moral. Dalam kenyataan pengamatan bentuk karya, tidak bisa lepas memisah-misahkan antara rasio, moral dan rasa (indera). Sehingga kita bisa merangkum kedua teori itu dalam proses penikmatan terhadap seni.
H.  Seni dan Alam
Alam, baik berupa flora, fauna, maupun manusia telah mengilhami seniman dalam mengekspresikan emosinya secara simbolistis (bersifat perlambangan) sejak zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan perkembangan selanjutnya, sampai berkenalan dengan seni rupa Barat (gaya naturalisme). Perkenalan dengan gaya seni rupa Barat sebenarnya ‗menurunkan‘ derajat seni rupa Indonesia. Mengapa tidak, sebab seni rupa naturalisme Barat yang intelektualistis itu hanya menyajikan keindahan alam secara kasat mata (visual realistis). Keagungan dan keluhuran nilai-nilai budaya bangsa tidak tercermin dari kekaryaan tersebut, dan mungkin lebih tepat jika dinamakan ‗sebagai potret alam‘ saja.
Dalam menanggapi alam, para seniman memilih sikap yang berbeda. Ada yang meniru alam secara akurat (kasat mata) atau secara fotografis (bergaya naturalisme). Namun ada pula yang mengolah alam dengan berbagai pendekatan dan teknik (misalnya deformasi, stilasi, abstraksi, dsb) dan dengan pandangan subyektifnya terhadap alam. Hal ini yang mendasari munculnya otonomi (kebebasan pribadi) dalam berkarya seni. Selain itu para seniman juga berupaya mengemukakan keadaan alam ini apa adanya secara realistis (apa adanya sesuai kenyataan hidup). Alam oleh seniman dipandang sebagai tema (subject – matter), kadang-kadang ada yang memandang sebagai motif atau juga dijadikannya sebagai bahan studi. Bagaimanapun sikap seniman terhadap alam, ternyata kekaryaannya banyak sekali yang mengikat hubungan dengan alam. Sehingga tidak mengherankan jika orang dulu pernah mangatakan bahwa alam adalah guru para seniman atau nature artis magistra.
I.     Seni dan Teknologi
Salah satu fungsi seni, selain untuk kepentingan individual dan sosial, adalah untuk mendukung kebutuhan fisik, yang berkaitan dengan perlengkapan kebutuhan sehari-hari seperti: alat rumah tangga, perumahan, teknologi/industri. Keterkaitan seni rupa dengan teknologi tak lepas dari sifat kodrati manusia yang selalu ingin memperoleh kenyamanan, kepuasan dan keindahan. Pakaian yang dipakai tidak cukup hanya sekedar untuk melindungi tubuh, tetapi ingin tampak indah, serasi, mode yang tidak ketinggalan zaman.
Dengan semakin banyaknya temuan-temuan teknologi, yang menghasilkan begitu banyak barang-barang, maka peranan seni rupa/desain semakin terasa untuk memberi sentuhan estetik terhadap barang-barang tersebut. Sentuhan estetik, khususnya dalam rancang bangun suatu produk menghasilkan nilai tambah yang bersifat psikologis maupun finansial/ekonomik.
 Sebaliknya, kemajuan teknologi dapat pula dimanfaatkan bagi pembuatan karya seni/desain, misalnya desain atau ilustrasi dengan bantuan program-program komputer. Persoalannya, desainer, arsitek atau ilustrator tidak memiliki kebebasan seperti pelukis dalam membuat karyanya, karena suatu benda atau bangunan memiliki bahan/material khusus dan kegunaan tertentu sebagai benda pakai. Arsitek tak bisa seenaknya merancang bentuk gedung pertemuan tanpa memperhitungkan keamanan dan daya tampung pengunjung. Jadi, masalahnya adalah, bagaimana memadukan bentuk dengan bahan dan fungsi.
Dalam hal inilah teknologi dan seni rupa berkaitan sangat erat. Oleh sebab itu, pendidikan seni sejak dini perlu memberi kesadaran kepada siswa –yang di antaranya kelak mungkin ada yang jadi pemimpin, pengusaha, industriawan—bahwa teknologi dan seni memiliki keterkaitan yang erat dan saling menunjang. Seni bukan sekedar sarana ekspresi individual, tetapi juga sarana penunjang kehidupan yang lebih luas, khususnya teknologi, namun orang kebanyakan tidak menyadarinya.

No comments:

Post a Comment